Tulisan Harry Tjan Silalahi berjudul “
Sesat Pikir, Samakan Pancasila sebagai Pilar”,
yang dimuat di Kompas tanggal 12 April 2013, mengeritik penyamaan
Pancasila dengan pilar. Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara tidak
sama dengan pilar.
Memang, sejak tiga tahun terakhir, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan sosialisasi “
empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara”. Keempat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tulisan Harry Tjan itu menunai polemik. Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim
Saifuddin, berusaha menangkis kritikan Harry Tjan itu. Menurutnya,
penggunaan istilah “empat pilar” lebih kepada pertimbangan teknis
komunikasi efektif. Lebih lanjut, ia mengatakan, istilah empat pilar itu
justru akan meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara.
Perdebatan ini patut diapresiasi. Maklum, sejak Orde Baru
mengkeramatkan Pancasila, perdebatan mengenai ideologi dan dasar negara
nyaris tidak terjadi. Satu-satunya interpretasi yang berlaku adalah
interpretasi orde baru. Padahal, di era Bung Karno, pendiskusian soal
Pancasila cukup intensif.
Saya sendiri tidak setuju dengan penyamaan Pancasila sebagai dasar
negara dengan sebagai salah satu pilar. Menurut saya, penyamaan
Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar (
UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), justru mereduksi esensi Pancasila sebagai dasar negara.
Untuk memahami makna Pancasila sebagai dasar negara, ada baiknya
menyelami konteks dan esensi pidato tanggal 1 Juni 1945. Untuk mengerti
konteksnya, menarik menyimak penuturan Bung Karno dalam otobiografinya
yang ditulis Cindy Adams,
Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Setelah tentara sekutu mendarat di Okinawa, posisi Jepang mulai
terjepit. Lantaran itu, pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyetujui
proposal pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai
sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab BPUPKI saat itu:
Negara “Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Tiga
hari perdebatan tidak menemukan jawabannya. Barulah, pada tanggal 1
Juni 1945, yakni saat Bung Karno berpidato, jawabannya diketemukan.
Menurut saya, konteks pidato 1 Juni adalah adanya kebutuhan
menyiapkan dasar negara untuk Indonesia Merdeka. “Paduka tuan Ketua yang
mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) untuk
mengemukakan dasar Indonesia Merdeka,” kata Bung Karno.
Lantas, dasar negara yang seperti apa yang diminta? Bung Karno menjawab: “
Philosofische grondslag
itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat
yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.”
Artinya, dengan melihat konteks pidato 1 Juni 1945, saya menyimpulkan bahwa esensi Pancasila memang
dasar negara.
Menurut Bung Karno, hampir semua bangsa merdeka di dunia, seperti Rusia
dan Tiongkok, itu punya “Weltanschauung” atau pandangan hidup. Dan di
atas
weltanschauung itulah dibangun Indonesia Merdeka.
Artinya, sebelum Indonesia ini mewujud menjadi negara merdeka,
weltanschauung-nya
sudah harus ada. Dan memang, sebelum proklamasi Kemerdekaan,
penggodokan dasar negara ini sudah tuntas. Tanggal 22 Mei 1945, panitia
kecil atau panitia 9 sudah menyelesaikan dasar negara itu dalam bentuk
Piagam Jakarta. Dan UUD 1945, yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945,
mencantumkan Pancasila di mukadimah atau pembukaannya.
Tetapi, sebuah
Weltanschauung haruslah berpijak pada realitas
lingkungan, pengetahuan, prinsip hidup, dan kepribadian yang sudah lama
hidup dan dianut oleh masyarakat bersangkutan. Dengan demikian,
weltanschauung tidak bisa diimpor atau ditiru begitu saja dari luar.
Memang, seperti dijelaskan Prof Driyarkara SJ, kalau filsafat itu ranahnya di lingkungan ilmu pengetahuan, sedangkan
weltanschauung adanya
di lingkungan kehidupan. Maka, tidak salah kalau Bung Karno mengatakan,
“Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh Bangsa
Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa
Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun
lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas
persada Bangsa Indonesia kembali.”
Artinya, lima prinsip atau azas dalam Pancasila, yakni Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme/Perikemanusiaan, Mufakat/Demokrasi,
Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan, pandangan kehidupan yang sudah ada
di kalangan bangsa Indonesia sejak lama.
Bagi saya, Pancasila sebagai dasar negara maknanya adalah bernegara
berdasarkan Pancasila. Manusia-manusia Indonesia “me-negara” berdasarkan
‘pandangan hidup’ Pancasila. Penyelenggara negara menjalankan praktek
bernegara juga harus ‘berpandangan hidup’ kepada Pancasila.
Dalam konteks itu, misalnya, bagaimana supaya kesejahteraan sosial
sebagai salah satu sila dari Pancasila bisa terwujud, maka perlu
dibuatkan konstitusi/UUD yang mengatur kewajiban dan syarat-syarat
mencapai tujuan itu. Atau, contoh lainnya, bagaimana supaya Kebangsaan
Indonesia itu kuat, maka realisasinya adalah bentuk “Negara Kesatuan”
dan “Bhineka Tunggal Ika”.
Makanya, saya juga berpandangan, cara pandang menempatkan Pancasila
sebagai salah satu pilar dari empat pilar sama saja dengan menyejajarkan
Pancasila dengan tiga pilar lainnya (UUD 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika). Cara pandang ini jelas
mendegradasi Pancasila sebagai dasar negara atau
weltanschauung.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa diubah lagi. Beda
halnya dengan konstitusi, UUD 1945, bisa diubah sesuai dengan tuntutan
zaman dan sesuai dengan kebutuhan hidup serta realitas perjuangan rakyat
Indonesia. Tetapi, kalaupun ada penyusunan ulang konstitusi, konstitusi
baru itu tetap harus sejalan dengan Pancasila.
Risal Kurnia, kontributor Berdikari Online