Sejarah singkat munculnya feminisme
Di dalam perkembangannya Feminisme di bagi kepada dua gelombang :
- Gelombang pertama
Feminisme dipelopori oleh Lady mary dan Marquis de Condorcet. didirikan di Middleburg sebuah kota diselatan belanda pada tahun 1785.
- Gelombang kedua
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Di dalam perkembangannya gerakan Feminisme terbagi kepada banyak aliran dengan misi yang tak jauh berbeda diantaranya adalah :
Feminisme di dalam Islam
Islam adalah agama pertama yang telah mengangkat derajat kaum wanita di dalam segala hal tanpa menyudutkan mereka di segi-segi tertentu. tetapi kebebasan yang telah diberikan oleh islam tidak terlepas dari dari hukum islam itu sendiri. pada dasarnya islam memberikan kebebasan seseorang tanpa melihat perbedaan diantara satu dengan yang lain, apakah ia orang Arab,Africa, Eropa dan Orang-orang Asia. Allah telah berfirman di dalam ayat suci Al-Quran yang maknanya:”bahwasanya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertanqwa”.
Dari hal di atas jelas bahwasanya Islam menyetarakan hak-hak dan kewajiban bagi seluruh ummat manusia bahkan manusia itu sendiri telah melupakan kewajiban yang telah di wajibkan padanya sebagai seorang hamba.
seperti yang telah dikemukakan diatas bahwasanya islam tidak menyudutkan wanita di berbagai hal. namun hal ini telah di tentang oleh gerakan feminisme yang menyatakan bahwasa Islam itu sendiri telah membedakan antara laki-laki dan perempuan di banyak hal, diantaranya Islam membedakan mereka di dalam hak harta warisan, dengan membatasi bahwa untuk laki-laki dua banding satu dari perempuan dan lain sebagainya . hal seperti ini telah di gunkan oleh musuh Islam untuk menyatakan bahwa Islam tidak adil.(Na’uzubilllah summma na’uzubillah).
Islam dan Warisan
Sebelum kita melihat lebih jauh pembagian harta warisan di dalam Islam terlebih dahulu kita menilik pembagian harta warisan sebelum datangnya Islam atau lebih dikenal pada zaman Arab Jahiliah. sebelum Islam terbit menerangi jazirah Arab pembagian harta warisan telah berlaku bagi masyarakat Jahiliah Khususnya, namun harta warisan dibagikan atas dua prinsip dasar: Nasab dan Sebab.
Diantara mereka yang mendapatkan harta warisan dengan Nasabadalah anak laki-laki yang telah bertempur di medan perang dan membawakan hasil rampasan perang(Ghanimah). harta tersebut diwarisi oleh mereka yang paling tua di dalam keluarga. apabila tidak ada anak yang paling tua , maka harta di bagikan kepada kerabat dekat mereka. bahkan mereka tidak mewarisi anak perempuan sama sekali, begitu juga dengan anak kecil baik itu laki-laki ataupun perempuan.
Diantara yang mendapatkan harta dengan sabab adalah dengan mengadopsi anak atau anak angkat. mereka mendapatkan warisan dari bapak angkatnya begitu juga sebaliknya mereka mewarisi bapak angkatnya ketika mereka meningal. Pengadopsian merupakan hal yang sangat terkenal di Arab Jahiliah bahkan menjadi sebuah adat, hingga mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu sebab tidak boleh menikah dan sebab mendapatkan hak harta warisan.
Dari hal diatas kita telah perhatikan bahwa masyarakat ArabJahiliah tidak mewarisi perempuan dan anak-anak kecil sama sekali. namun ketika Islam terbit bagaikan mentari pagi yang menghapus kegelapan malam Islam mengatur hak pewarisan secara adil dan bijaksana hingga perempuan dan anak-anak mendapatkan hak dari harta warisan. jelas bahwa islam telah mengangkat derajat kaum wanita dalam masalah harta, bahkan pembagian ini lanssung datang dari Allah SWT dikala manusia belum mengerti pembagian dan perkalian secara modern.
Setelah kita melirik lebih jauh tentang hukum pewarisan sebelum Islam dan sesudah Islam, kita melihat beberap hal yang dikatakan bertentangan dengan kesetaraan Gender dalam hal pembagian harta warisan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 176 disebutkan bahwa anak perempuan menjadi ahli waris bersama-sama anak laki-laki; maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Dalam Pasal 183 disebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Gagasan diktum itu ialah bahwa sesuai dengan ajaran al-Qur’an maka bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan, tetapi dengan memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, dimungkinkan untuk memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris sepakat.
Yang perlu diperhatikan bahwa didalam Islam, orang-orang yang mendapat warisan secara pasti sebagian besar terdiri dari ahli waris perempuan. Anak perempuan, bisa mungkin mendapat tiga kali macam warisan, yaitu setengah, dua pertiga, dan ‘asabah (yang meninggal saudara laki-laki). Jadi perempuan tidak selamanya mendapat bagian waris separoh dari bagian laki-laki.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah benar bahwa pembagian waris 2:1 ini sepenuhnya telah melawan prinsip keadilan kemitraan yang dikemukakan sendiri oleh al-Qur’an. Masdar mengatakan, bahwa ini, dapat dipahami dengan adanya batas kuantitatif yang diberikan setelah minus yang pada dasarnya bukan merupakan nilai maksimal. Artinya, batas minimal dalam pembagian waris bagi perempuan yang disebutkan oleh al-Qur’an adalah bentuk minimal. Bila dalam kasus-kasus tertentu, tuntutan keadilan menghendaki, bagian laki-laki bisa sama dengan perempuan atau bahkan perempuan yang mendapat lebih banyak. Jadi yang sangat digariskan oleh Allah bukanlah angkanya, tetapi semangat keadilan dan kesetaraannya sebagai subyek yang sama-sama mewarisi setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek yang diwariskan.
Sehingga ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama, ayat waris tersebut memiliki hubungan dengan realitas sosial, ketika ayat itu diturunkan, yaitu perempuan pada masa itu tidak mendapat hak waris bahkan menjadi bagian dari harta yang diwariskan. Namun Islam berani memberi kebijakan bahwa perempuan harus mendapat bagian warisan. Munculnya kebijakan wahyu tersebut sebenarnya, bila melihat kondisi riil masyarakat ketika itu, sudah merupakan sejarah besar kewarisan, bahkan dapat dikatakan sebagai revolusi yang radikal.
Kedua, jumlah atau kuantitas pembagian waris perempuan hanya setengah dari bagian laki-laki dapat dilihat dari aspek sosial-ekonomi (khususnya dalam kehidupan berkeluarga) di masa itu, yakni beban keluarga atau nafkah sepenuhnya menjadi tanggungjawab kaum laki-laki. Karena itu ayat tentang konsep kewarisan ini memberi perempuan satu berbanding dua untuk laki-laki. Meskipun perempuan itu kaya atau berpenghasilan lebih dari suami, kekayaan dan hasil jerih payah semuanya menjadi milik isteri sendiri. Suami tidak boleh membebankan kewajiban nafkah keluarga kepada harta warisan atau penghasilan isteri, kecuali atas kesukarelaan isteri sendiri. Inilah latar sosial ekonomi yang menyebabkan sistem pewarisan 2:1 dicanangkan oleh al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat Arab lima belas abad yang lalu.
Syek Ismail Muqoddim menyebutkan bahwa pertama kali yang melontarkan ide penyamaan jatah waris laki-laki dan perempuan adalah Negara Turki pada masa Musthofa Kamal At Taturk , yaitu dengan jalan mengganti Hukum Syareat dengan Hukum Swedia. Kemudian kesesatan ini berpindah ke Tunis melalui tangan Burqaibah, kemudian ke Somalia. Bahkan pemimpin Somalia Ziyad Barri pada tahun 21 Oktober 1970 mengumumakan lewat siaran radio bahwa pemerintahannya telah memeluk aliran Marxis Lenin. Setelah itu, dia mengatakan di dalam koran resmi : “ Dahulu kami mendengar pendapat yang mengatakan bahwa jatah warisan ada yang seperempat, sepertiga, seperlima, dan seperenam, tapi kita mengatakan : “ sesungguhnya itu semua sudah tidak ada sejak hari ini, yang ada bahwa anak laki-laki dan perempuan sama jatahnya di dalam warisan “
Dari hal diatas telah terbukti bahwa Islam tidak menyudutkan dan merugikan wanita dalam hak warisan, bahkan harta milik laki-laki kelak akan menjadi bagian dari harta perempuan itu sendiri ketika berkluaraga dan harta perempuan akan selalu bertambah sedangkan harta laki-laki akan semakin berkurang. jelas bahwa kebijakan yang diambil oleh Al-Quran sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga kita harus mengakui bahwa Hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, (Syariatul islamiah shalihatun likulli zaman wamakan). Cendikiawan barat berkata “bahwa dengan meninggalkan agama Kristus kita kan sukses”, sebaliknya kita harus menanam prinsip bahwa dengan menjalankan apa yang telah disampaikan Al-Quran dan Sunnah kita akan sukses dan bahagia di dunia dan akhirat.
Yang perlu kita garis bawahi bahwa itu semua adalah fitnah-fitnah yang dilontarkan oleh musuh Islam untuk menyeret ummat Islam kepada kekufuran dari hukum Allah dengan meninggalkan apa yang telah diperintahkan oleh Al-Quran dan Assunnah, itu semua hanya shubhah dari musuh Islam karena tidak senag atas perkembangan Islam di atas muka bumi. (wallahu ‘alam bisshawab)
Abdul Halim, Lc
Alumny :Al-Azhar As-Syarif University (Cairo-Egypt)
Islamic Jurisprundence and Law
Sumber: http://islamiccenterlhokseumawe.com/index.php/berita/22-editorial/19-gerakan-feminisme-dalam-hukumwaris
Di dalam perkembangannya Feminisme di bagi kepada dua gelombang :
- Gelombang pertama
Feminisme dipelopori oleh Lady mary dan Marquis de Condorcet. didirikan di Middleburg sebuah kota diselatan belanda pada tahun 1785.
- Gelombang kedua
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Di dalam perkembangannya gerakan Feminisme terbagi kepada banyak aliran dengan misi yang tak jauh berbeda diantaranya adalah :
- Feminisme liberal
- Feminisme radikal
- Feminisme post modern
- Feminisme anarkis
- Feminisme Marxis
- Feminisme sosialis
- Feminisme postcolonial
Feminisme di dalam Islam
Islam adalah agama pertama yang telah mengangkat derajat kaum wanita di dalam segala hal tanpa menyudutkan mereka di segi-segi tertentu. tetapi kebebasan yang telah diberikan oleh islam tidak terlepas dari dari hukum islam itu sendiri. pada dasarnya islam memberikan kebebasan seseorang tanpa melihat perbedaan diantara satu dengan yang lain, apakah ia orang Arab,Africa, Eropa dan Orang-orang Asia. Allah telah berfirman di dalam ayat suci Al-Quran yang maknanya:”bahwasanya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertanqwa”.
Dari hal di atas jelas bahwasanya Islam menyetarakan hak-hak dan kewajiban bagi seluruh ummat manusia bahkan manusia itu sendiri telah melupakan kewajiban yang telah di wajibkan padanya sebagai seorang hamba.
seperti yang telah dikemukakan diatas bahwasanya islam tidak menyudutkan wanita di berbagai hal. namun hal ini telah di tentang oleh gerakan feminisme yang menyatakan bahwasa Islam itu sendiri telah membedakan antara laki-laki dan perempuan di banyak hal, diantaranya Islam membedakan mereka di dalam hak harta warisan, dengan membatasi bahwa untuk laki-laki dua banding satu dari perempuan dan lain sebagainya . hal seperti ini telah di gunkan oleh musuh Islam untuk menyatakan bahwa Islam tidak adil.(Na’uzubilllah summma na’uzubillah).
Islam dan Warisan
Sebelum kita melihat lebih jauh pembagian harta warisan di dalam Islam terlebih dahulu kita menilik pembagian harta warisan sebelum datangnya Islam atau lebih dikenal pada zaman Arab Jahiliah. sebelum Islam terbit menerangi jazirah Arab pembagian harta warisan telah berlaku bagi masyarakat Jahiliah Khususnya, namun harta warisan dibagikan atas dua prinsip dasar: Nasab dan Sebab.
Diantara mereka yang mendapatkan harta warisan dengan Nasabadalah anak laki-laki yang telah bertempur di medan perang dan membawakan hasil rampasan perang(Ghanimah). harta tersebut diwarisi oleh mereka yang paling tua di dalam keluarga. apabila tidak ada anak yang paling tua , maka harta di bagikan kepada kerabat dekat mereka. bahkan mereka tidak mewarisi anak perempuan sama sekali, begitu juga dengan anak kecil baik itu laki-laki ataupun perempuan.
Diantara yang mendapatkan harta dengan sabab adalah dengan mengadopsi anak atau anak angkat. mereka mendapatkan warisan dari bapak angkatnya begitu juga sebaliknya mereka mewarisi bapak angkatnya ketika mereka meningal. Pengadopsian merupakan hal yang sangat terkenal di Arab Jahiliah bahkan menjadi sebuah adat, hingga mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu sebab tidak boleh menikah dan sebab mendapatkan hak harta warisan.
Dari hal diatas kita telah perhatikan bahwa masyarakat ArabJahiliah tidak mewarisi perempuan dan anak-anak kecil sama sekali. namun ketika Islam terbit bagaikan mentari pagi yang menghapus kegelapan malam Islam mengatur hak pewarisan secara adil dan bijaksana hingga perempuan dan anak-anak mendapatkan hak dari harta warisan. jelas bahwa islam telah mengangkat derajat kaum wanita dalam masalah harta, bahkan pembagian ini lanssung datang dari Allah SWT dikala manusia belum mengerti pembagian dan perkalian secara modern.
Setelah kita melirik lebih jauh tentang hukum pewarisan sebelum Islam dan sesudah Islam, kita melihat beberap hal yang dikatakan bertentangan dengan kesetaraan Gender dalam hal pembagian harta warisan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 176 disebutkan bahwa anak perempuan menjadi ahli waris bersama-sama anak laki-laki; maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Dalam Pasal 183 disebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Gagasan diktum itu ialah bahwa sesuai dengan ajaran al-Qur’an maka bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan, tetapi dengan memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, dimungkinkan untuk memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris sepakat.
Yang perlu diperhatikan bahwa didalam Islam, orang-orang yang mendapat warisan secara pasti sebagian besar terdiri dari ahli waris perempuan. Anak perempuan, bisa mungkin mendapat tiga kali macam warisan, yaitu setengah, dua pertiga, dan ‘asabah (yang meninggal saudara laki-laki). Jadi perempuan tidak selamanya mendapat bagian waris separoh dari bagian laki-laki.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah benar bahwa pembagian waris 2:1 ini sepenuhnya telah melawan prinsip keadilan kemitraan yang dikemukakan sendiri oleh al-Qur’an. Masdar mengatakan, bahwa ini, dapat dipahami dengan adanya batas kuantitatif yang diberikan setelah minus yang pada dasarnya bukan merupakan nilai maksimal. Artinya, batas minimal dalam pembagian waris bagi perempuan yang disebutkan oleh al-Qur’an adalah bentuk minimal. Bila dalam kasus-kasus tertentu, tuntutan keadilan menghendaki, bagian laki-laki bisa sama dengan perempuan atau bahkan perempuan yang mendapat lebih banyak. Jadi yang sangat digariskan oleh Allah bukanlah angkanya, tetapi semangat keadilan dan kesetaraannya sebagai subyek yang sama-sama mewarisi setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek yang diwariskan.
Sehingga ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama, ayat waris tersebut memiliki hubungan dengan realitas sosial, ketika ayat itu diturunkan, yaitu perempuan pada masa itu tidak mendapat hak waris bahkan menjadi bagian dari harta yang diwariskan. Namun Islam berani memberi kebijakan bahwa perempuan harus mendapat bagian warisan. Munculnya kebijakan wahyu tersebut sebenarnya, bila melihat kondisi riil masyarakat ketika itu, sudah merupakan sejarah besar kewarisan, bahkan dapat dikatakan sebagai revolusi yang radikal.
Kedua, jumlah atau kuantitas pembagian waris perempuan hanya setengah dari bagian laki-laki dapat dilihat dari aspek sosial-ekonomi (khususnya dalam kehidupan berkeluarga) di masa itu, yakni beban keluarga atau nafkah sepenuhnya menjadi tanggungjawab kaum laki-laki. Karena itu ayat tentang konsep kewarisan ini memberi perempuan satu berbanding dua untuk laki-laki. Meskipun perempuan itu kaya atau berpenghasilan lebih dari suami, kekayaan dan hasil jerih payah semuanya menjadi milik isteri sendiri. Suami tidak boleh membebankan kewajiban nafkah keluarga kepada harta warisan atau penghasilan isteri, kecuali atas kesukarelaan isteri sendiri. Inilah latar sosial ekonomi yang menyebabkan sistem pewarisan 2:1 dicanangkan oleh al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat Arab lima belas abad yang lalu.
Syek Ismail Muqoddim menyebutkan bahwa pertama kali yang melontarkan ide penyamaan jatah waris laki-laki dan perempuan adalah Negara Turki pada masa Musthofa Kamal At Taturk , yaitu dengan jalan mengganti Hukum Syareat dengan Hukum Swedia. Kemudian kesesatan ini berpindah ke Tunis melalui tangan Burqaibah, kemudian ke Somalia. Bahkan pemimpin Somalia Ziyad Barri pada tahun 21 Oktober 1970 mengumumakan lewat siaran radio bahwa pemerintahannya telah memeluk aliran Marxis Lenin. Setelah itu, dia mengatakan di dalam koran resmi : “ Dahulu kami mendengar pendapat yang mengatakan bahwa jatah warisan ada yang seperempat, sepertiga, seperlima, dan seperenam, tapi kita mengatakan : “ sesungguhnya itu semua sudah tidak ada sejak hari ini, yang ada bahwa anak laki-laki dan perempuan sama jatahnya di dalam warisan “
Dari hal diatas telah terbukti bahwa Islam tidak menyudutkan dan merugikan wanita dalam hak warisan, bahkan harta milik laki-laki kelak akan menjadi bagian dari harta perempuan itu sendiri ketika berkluaraga dan harta perempuan akan selalu bertambah sedangkan harta laki-laki akan semakin berkurang. jelas bahwa kebijakan yang diambil oleh Al-Quran sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga kita harus mengakui bahwa Hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, (Syariatul islamiah shalihatun likulli zaman wamakan). Cendikiawan barat berkata “bahwa dengan meninggalkan agama Kristus kita kan sukses”, sebaliknya kita harus menanam prinsip bahwa dengan menjalankan apa yang telah disampaikan Al-Quran dan Sunnah kita akan sukses dan bahagia di dunia dan akhirat.
Yang perlu kita garis bawahi bahwa itu semua adalah fitnah-fitnah yang dilontarkan oleh musuh Islam untuk menyeret ummat Islam kepada kekufuran dari hukum Allah dengan meninggalkan apa yang telah diperintahkan oleh Al-Quran dan Assunnah, itu semua hanya shubhah dari musuh Islam karena tidak senag atas perkembangan Islam di atas muka bumi. (wallahu ‘alam bisshawab)
Abdul Halim, Lc
Alumny :Al-Azhar As-Syarif University (Cairo-Egypt)
Islamic Jurisprundence and Law
Sumber: http://islamiccenterlhokseumawe.com/index.php/berita/22-editorial/19-gerakan-feminisme-dalam-hukumwaris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sertakan pertanyaan, komentar, pendapat, kritik dan saran anda pada kolom komentar dibawah ini. Saya menghargai setiap pesan anda dan berterima kasih kepada anda....
Silahkan tinggalkan pesan anda!